Mendengar
kabar kememangan film Sang Kiai dalam Festival Film Indonesia 2013, adalah
kabar gembira, terutama bagi warga NU termasuk saya. Alasan kegembiraan, bagi
saya bukan karena saya adalah warga NU atau yang ditokohkan itu adalah tokoh
Nu. Namun, karena saya mendapat pelajaran dari perjuangan Hasyim Asy’ari untuk
bangsa.
Seorang
kiai dalam kiprahnya, akan membawa dampak yang besar pengaruhnya bagi
masyarakat. Banyak masyarakat yang tunduk dan patuh pada perintah seorang kiai.
Kita bisa mengamati bersama dalam film Sang Kiai ataupun Sang Pencerah, yang
kedua sosok kiainya menjadi tokoh panutan masyarakat seperti keyataan yang
telah terjadi.
Hasyim
Asy’ari merupakan tokoh sentral pemeluk agama islam dijamannya. Berkat
pengaruhnya, Indonesia bisa meraih kemerdekaan. Meskipun pada awalnya, dia hanya
menentang tentara Jepang yang telah memaksa rakyat indonesia untuk melakukan
Sekerei (menghormat kepada matahari). Dalam alur ini secara harfiah Hasyim
Asy’ari bisa dikatakan tetap bersikukuh dengan agamanya, bukan karena dia
membela negaranya, namun pada akhirnya seluruh pengikutnya mengakui sikap
nasionalisme seorang Hasyim Asy’ari untuk bangsa, setelah sebelumnya tertangkap
oleh tentara jepang.
Ahmad
Dahlan dalam film Sang Pencerah juga bisa dikatakan sangat berpengaruh dalam
lingkungannya. Walaupun sudah dicap sebagai kiai kafir yang menyebarkan aliran
sesat, dia tetap bertahan dengan apa yang sudah menjadi ajaran dan pola
pikirnya. Dia tetap bersikukuh dengan pendapat dan bisa mempengaruhi masyarakat
melalui dukungan keluarga dan lima santrinya. Hingga akhirnya, terbentuklah organisasi
keagamaan bernama Muhammadiyah yang sampai saat ini masih eksis membina
umatnya.
Jika
kita cermati, kedua film itu sama-sama menampilkan perjuangan seorang kiai
dalam membina umat dari kekesesatan berideologi dan berkeyakinan. Hasyim
Asy’ari menentang Sekerei yang sudah dinilainya telah melanggar aturan umat
islam. Sedangkan Ahmad Dahlan terkesan hanya sebagai seorang pionir yang
menggagas pemikiran, bahwa islam itu mudah dan membebaskan, bukan agama yang
menyulitkan seperti yang dianut di jawa kuno saat itu. Hanya saja, dalam
menampilkan jiwa nasionalisme untuk bangsa, kisah cerita Hasyim Asy’ari dalam
film tampak lebih kentara dibanding Ahmad Dahlan yang cenderung dikatakan
sebagai pembaharu dan
pendobrak tradisi.
Hasyim
Asy’ari yang sudah dikenal sebagai pendiri NU dan dan Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, keduanya adalah tokoh sentral yang layak mendapatkan apresiasi
positif dari seluruh warga indonesia, lebih-lebih dari kalangannya sendiri.
Kiprah perjuangan seorang kiai dalam kedua filmnya sangat baik untuk ditonton
karena realitasnya memang sudah diakui oleh masyarakat. Sampai-sampai untuk kedepan
Sunil Santami, produser film Sang Kiai, masih mencari tokoh nasional yang akan
diangkat kembali ke layar lebar besutannya. Namun, akan sangat riskan ketika
tokoh yang dijadikan aktor utamanya adalah tokoh berpengaruh yang jauh dari
konteks semisal nasionalisme.
Dalam
menonton film, peminat televisi harus lebih cermat dalam menghayati alur cerita
dan profil-profil tokohnya. Paling tidak dia harus bisa mengambil esensi yang
bisa dijadikannya sebagai pelajaran. Karena, kebaikan bisa datang dari siapa
saja, bukan hanya dari profil seorang kiai. Esensi dari kebaikan yang kita
dapat dari menonton film adalah sesuatu yang bisa menjadikan seseorang menjadi
lebih baik dari sebelumnya.
Kalau
dalam menampilkan film hanya karena alasan untuk yang bisa membangkitkan jiwa
nasionalisme, saya kira tidak harus dengan menampil seorang tokoh nasional,
apalagi pejuang yang sudah terkenal sebagai tokoh islam yang sangat berpengaruh.
Paling tidak alur ceritanya bisa menggugah hati nurani seseorang untuk semangat
kebangsaan tanpa menimbulkan perpecahan dan kesenjangan sosial baik secara
individu maupun golongan.
Melihat
fenomena ini, para produser dalam industri perfilman harus lebih hati-hati
dalam mengangkat tema cerita sebuah film. Baik film Sang Kiai maupun Sang
Pencerah berpotensi menimbulkan kontraversi bagi masyarakat luas. Kenapa? Kedua
tokoh itu punya umat yang berbeda pendapat mengenai ajarannya. Hasyim Asy’ari
tokoh NU yang mayoritas pengikutnya melakukan tahlil, dziba’an, mauludan,
nariyahan dan sejenisnya. Sedangkan Ahmad Dahlan adalah tokoh Muhammadiyah yang
para pengikutnya melarang untuk melakukan amaliyah yang dilakukan oleh NU.
Dari
dua film ini saja, pernah diberitakan tentang anggapan bahwa film Sang Kyai itu
meniru film Sang Pencerah, meskipun sudah ditepis oleh sutradaranya, Rako
Pujiarto. Harapan saya semoga persetruan ini tidak menimbulkan kesenjangan
sosial baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah.
Kiprah
seorang tokoh besar pemberitaannya akan lebih mudah dikenal oleh masyarakat.
Dia akan menjadi pusat perhatian dengan apa yang sudah dilakukannya.
Lebih-lebih jika dia memang seorang pejuang tanah air, tentu merupakan hal yang
menarik dan cukup layak untuk diangkat menjadi sebuah film, sesuai dengan biografi
perjalanan hidupnya mulai dari lahir hingga akhir hayatnya. Maka hal ini perlu
diperhatikan, khususnya bagi para produser dunia perfilman yang melibatkan
orang yang sudah dikenal menjadi tokoh utamanya.
Sebuah
film bisa dikatakan baik jika penayangannya tidak menimbulkan hal-hal yang saya
khawatirkan seperti uraian diatas, kendati telah menjadi film terbaik di
Festival Film Indonesia atau bahkan dikenal oleh penduduk dunia sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar