Duh!
Sudah malam begini belum ada tukang ronda malam yang datang ke pos ronda.
Padahal sudah jam 22.00 wib. Waktu sudah kelewat batas. Semua belum juga pada
datang dan aku adalah orang yang pertama kali duduk di pos jaga. Andai Ayah
tidak menyuruhku menggantikannya, mungkin aku sudah tidur seperti biasanya,
atau paling tidak kunyalakan komputerku buat tugas kuliah terus kemudian nonton
film-film baru di akhir tahun ini.
Kunyalakan
TV 12 in di tempat ronda, kupencet-pencet remot TV sambil mangamati tayangan
demi tayangan TV di malam itu. Tapi entahlah, tak ada satu pun tayangan menarik
yang bisa ku tonton. Terpaksa kumatikan. Lalu, bengong sendirian.
Aku
tak kehabisan akal. Kuambil Hp, kubuka aplikasi pemutar musik lalu kunyalakan
lagu Mulan Jameela, makhluk Tuhan paling seksi. Aku menjadi sangat terhibur,
meski cuma manggut-manggut sambil goyangkan kaki. Lagian, Mulan Jameela memang
satu-satunya penyanyi wanita yang bisa menghipnotis telingaku untuk
mendengarkan musik.
Lama
sekali aku menunggu datangnya orang-orang yang dapat jatah giliran jaga.
Maklum, ini jaga malam pertamaku bersama warga kampung. Memang sudah saatnya aku
harus mengenal warga sekelilingku agar aku bisa berbaur dengan
tetangga-tetangga baruku.
Sudah
seminggu aku menempati rumah tua yang dibeli Ayah dengan harga yang murah.
Rumah tua itu dibangun sekitar tahun 1926 sebelum negara indonesia merdeka.
Rumahnya berukuran kecil dan berhalaman luas dan temboknya sangat tebal.
Bentuknya persegi panjang. Didalamnya terdapat tiga kamar, depan untuk aku,
tengah untuk ayah dan ibu dan belang untuk kakakku, Firman.
Pertama
kali aku masuk rumah, hawanya bikin bulu kudukku merinding seperti saat aku
masuk ke rumah hantu. Semua barang-barang rumah sudah tertata rapi, meja kursi
tamu, foto-foto keluarga di dinding, lemari-lemari, rak buku, dapur dan
sebagainya. Ayahku sudah mempersiapkan semua sebelum memboyong semua anggota
keluarga.
Tiga
hari aku disana, aku nggak begitu kerasan. Biasa, menempati tempat baru memang
butuh beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Kadang aku
masih merasa ngeri melihat bangunannya yang sudah tua seperti saat berada di
Lawang Sewu Semarang.
Jujur,
aku pernah mendengar anak bayi nangis dibelakang rumah. Suaranya terdengar
jelas ditelingaku. Anehnya, Kak Firman tak mendengarnya. Pernah juga, di malam
hari saat semuanya sudah tidur, aku keluar dari kamar. Kubuka pintu depan
rumahku untuk sekedar menghirup angin malam. Seketika itu juga mataku melongo
melihat sosok seorang wanita berbaju putih yang panjangnya sampai menutup kaki
di depan gerbang rumahku. Wajahnya pucat, berambut hitam panjang dan matanya berwarna.
Aku kaget bercampur takut, merinding saat tiba-tiba wanita itu menghilang
begitu saja. Dia seperti lenyap diterpa angin malam. “lap!” Aku yakin, wanita
itu penampakan makhluk halus dari alam lain.
“Hey!
Bengong aja!”
Dasar!
Aku sangat kaget dengan kedatangan Kak Firman. Dia memang sengaja iseng mengagetiku
melihatku bengong. Dikiranya aku melamun, padahal aku sedang menikmati
lagu-lagu Mulan Jameela.
“Kakak
kok kesini? Belum tidur?”
“Ayah
tadi dari kejauhan lihat kamu sendirian di pos jaga, makanya nyuruh aku buat
nemenin kamu...” kata Kak Firman sambil membawa kopi yang sudah diraciknya di
termos kecilku.
“Emang
Kakak nggak kerja besok?”
“Besok
hari minggu kan... Libur kali...” ketusnya.
Aku
baru ingat kalau malam itu malam minggu. Kebetulan, daripada sendirian. Syukur
Kak Firman mau menemaniku. Suasananya sedikit cair dengan guyonan-guyonan yang
biasa kulontarkan seperti biasanya.
Tiba-tiba
mataku sedikit penasaran dengan sosok laki-laki yang sedang berjalan menuju pos
kampling. Badannya kekar, berkumis, berambut panjang, memakai gelang karet
berwarna hitam dan berkalung koin kuno berwarna kekemasan. Dia memakai baju
loreng berwarna merah putih. Celananya sobek, tepat di tengkuk lututnya. Dan
yang paling menakutkan, tangannya membawa senjata tajam sejenis parang yang
berukuran panjang.
“Kak,
kak, kak, itu siapa?” tanyaku.
“Kok
kayak preman gitu ya?” kakakku keheranan.
Aku
dan Kak Firman hanya terdiam sambil menatap dalam-dalam laki-laki paruh baya
itu. Saat dia semakin dekat jantungku berdetak kencang seperti orang ketakutan.
Aku dan Kak Firman saling memandang sambil mengerutkan wajah. Terbesit
pikiranku untuk langsung lari ke rumah.
“Maaf,
permisi mas, saya Pak Karto, parang saya tak kasih diatas saja ya mas biar
aman...”
“Hufh...”
Aku
menghela nafas panjang. Penampilan Pak Harto membuatku sedikit ketakutan. Dia memang
pantas dikatakan sebagai seorang preman. Jika iya, sebenarnya dia bukan seperti
preman-preman lainnya. Dia adalah seorang preman yang baik hati. Ramah saat
bertuturkata.
Dengan
kedatangan Pak Harto, suasana malam itu agak sedikit tenang. Dia sangat
bersemangat untuk bercerita tentang kehidupannya. Dia mengaku pernah beberapa
kali masuk ke penjara karena bermasalah dengan seseorang. Sebenarnya dia tidak
pernah bermaksud untuk berbuat jahat kepada siapapun. Kerena mendesak, dia
akhirnya melakukan sesuatu yang semestinya tidak harus dilakukannya, seperti
membacok orang, merusak rumah orang dan perbuatan jahat lainnya. Dia melakukan
tindakan itu karena merasa dikecewakn oleh rekan bisnis maupun tetangganya yang
selalu menunda pembayaran hutang darinya.
Dalam
penjara pun, dia masih tetap merasakan keganjilan. Menurutnya, penegak hukum di
kotanya sama saja. Karena seringkali masuk ke penjara akhirnya dia tahu apa
yang terjadi sebenarnya, bahwa penegak hukum pun tidak selayaknya menghakimi
orang dengan berpedoman keadilan.
“Rusak,
Mas, di penjara sama saja, polisinya juga preman, begitu juga dengan hakimnya,
siapa yang kuat bayar mahal maka dia yang menang”
Aku
melongo dan sedikit berpikir lebih dalam. Antara percaya dan tidak. Seorang juru
hukum dan penegak keadilan telah keluar dari fungsinya. Akan jadi apa negara
ini jika dalam menegakkan keadilan saja tidak terselenggara sebagaimana
mestinya. Belum lagi jika mendengar korupsi para wakil rakyat. Apa jadinya
negeri ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar