Ayah, sejak dulu ku katakan
pada diriku bahwa engkau adalah Ayahku.
Sejak dulu aku selalu
menanti saat-saatku bersamamu, dihadapanmu, lalu aku membaca ayat-ayat suci
Tuhanku sebaik mungkin, karena aku tahu disaat itu engkau adalah guru di
hadapanku.
Aku tahu, suatu saat nanti
apa yang kudapat darimu adalah buah pahala bagi dirimu, diriku dan bagi semua
orang yang kelak akan menerima sepercik cahaya yang bermuara dari pancaranmu,
termasuk putera-puteriku kelak dan kemudian seterusnya.
Ayah, aku ataupun dirimu
tidak harus mengakui bahwa aku anakmu atau kau adalah ayahku. Cukup Tuhan yang
tahu dan aku yakin itu.
Semua itu sudah terakui
dengan sendiri dalam kitab-kitab kitab para pendahulu, bahwa kau adalah Ayahku,
Ayah yang menyinarkan cahaya batinku.
Bagiku sudah cukup, meskipun
sampai saat ini aku tetap bukanlah anakmu, jauh darimu dan takkan pernah merasakan
kebersamaan itu lagi, karena memang sejatinya aku bukan seperti anak-anakmu yang bisa selalu disampingmu.
Bagai burung pipit terbang tinggi tanpa tahu arah singgahnya, biarlah pepohonan nan rindang, di
hutan yang sepi aku akan memulai kehidupan baru, membuat sarang yang nyaman,
lalu mewujudkan impian-impian yang hampir tak mungkin kudapatkan seindah di
waktu aku bersamamu.
Tapi aku yakin, dirimu telah
ada di hatiku, dirimu setiap waktu mengingatkan semua hal yang seharusnya
kujalani di dunia ini, seruanmu, semangatmu, tuntunanmu dan do’a-do’a darimu
selalu kau panjatkan untukku.
Ayah, aku selalu berusaha
menggapai semua yang telah kau raih, semua yang pernah kau ajarkan untukku,
semua yang telah kau tampakkan di depan mataku dan semua yang telah kau berikan
kepada semua orang, meski masih sedikit yang bisa kulakukan.
Aku
takkan mampu menjadi seperti dirimu, apalagi kau adalah orang yang mulia yang
pantas untuk dimuliakan, orang yang selalu dipuja sebagai tokoh yang menjadi
panutan bagi siapapun, orang yang jauh dari kehinaan.
Diriku
yang bukanlah siapa-siapa, hanya seongok kembang yang hampir layu diatas hamparan
lumpur yang kering, yang tak punya derajat tinggi dan bukanlah cerminan
yang layak untuk mengkaca diri.
Ayah, dalam surat ini aku
hanya bisa mengucapkan untaian rasa terimakasih, sebagai balasan yang tak
setimpal yang bisa kuberikan, karena aku tak sanggup membayarmu meskipun dunia
dalam genggamanku.
Ayah, andai kau baca surat
ini, aku berharap semoga kau tahu, bahwa di sisa kehidupan ini, kebaktianku
adalah harapan yang tak mungkin ada kecuali hanya sekedar berharap, semoga aku, kau akui sebagai anakmu yang selalu berbakti kepadamu.
Ayah, kebaikanku tak mungkin bisa kujadikan sebagai penghapusan dosaku kepadamu, maka maafkanlah aku.
Bukalah
sekali lagi kesempatan bagiku untuk mendengar dan tahu bahwa kau telah
menghapusnya, lalu kau ganti dengan kelegaan hatimu yang mau tersenyum untukku,
karena hanya kaulah yang menggelorakan semangatku, untuk mau menggapai tujuan
hidupku.
Ayah, aku tahu Tuhan juga
akan tersenyum jika melihatmu tersenyum untukku.
Terimakasih, Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar