- Back to Home »
- PARA PENYEMBAH SANG TUHAN
Posted by : Unknown
Selasa, 27 Oktober 2015
Haru,
bangga dan penuh rasa yang tak bisa terungkapkan. Gemuruh memang, namun tak
sedikit pun mengganggu jiwa. Andai orang lain yang merasakannya, niscaya akan
terasa jika dirasakan dengan ketulusan hati. Aneh, mungkin. Tapi ini nyata,
walaupun tak rasional.
Pagi
itu benar-benar membuncah. Rasa hati tak menentu, tak karuan, entah, aku tak tahu
bagaimana menyebut atau menamai keadaan itu. Sedih bukan, senang mungkin tapi kalau
dilihat seperti orang mau menangis. Dadaku semakin sesak, bukan karena penyakit
asma. Bernafaspun tak stabil akibat rengekan yang gila dasyatnya.
Kulihat
ke arah samping, ada seorang laki-laki paruh baya duduk termenung, seperti
meratapi sesuatu. Mimik wajahnya sendu, penuh perenungan. Entah, apa yang
direnungkan. Tak lama kemudian, tiba-tiba leleh juga air matanya. Tenyata ia
pun mungkin merasakan sepertiku. Iya, mungkin. Tapi kenapa? Ada apa? Hanya
ketenangan dan kenyamanan hati yang bisa kurasa, itu jawabannya.
Pandangan
mata kuarahkan lebih jauh, tepatnya di kerumunan para wanita. Dari ribuan
wanita, hanya satu wanita yang membuatku tertarik untuk melihat lebih jelas. Ialah,
wanita yang duduk di sebelah kiri tiang penyangga mesjid. Sebatas pandanganku,
dia sangat khusyuk memutar tasbehnya. Matanya terpejam, penuh penghayatan.
Kupandangi lebih tajam bibirnya yang sedikit menawan, ternyata jika tidak salah
mulutnya mengucap kata:”Ya Allah... Ya Allah... Ya Allah...” Kata itu
diulang-ulang berkali-kali. Dia sama sekali tidak terusik dengan tingkah laku
seorang anak kecil yang tidak bisa diam, berlarian, dan sesekali mendekapnya
dari belakang. Namun, wanita itu tetap diam dan tak terganggu sedikitpun.
Seolah-olah ada hal lain yang sedang dituju dalam perjalanan spiritualnya saat
itu.
Setelah
itu, kulihatkan pandanganku las ke arah Bapak tua yang duduk di shof depanku. Bajunya
sedikit lusuh, putih tapi agak kotor. Pecinya juga tidak serapi kopyah yang
dipakai orang-orang disekitarnya. Kepalanya dan tangannya menengadah, sambil
memejamkan mata. Seolah ada yang sedang dia pinta, atau mungkin dia sedang
meminta pengampunan. Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang
dilakukannya.
Aku
termenung lagi, dalam hatiku masih bertanya, mungkin ini cara orang-orang untuk
mendekatkan diri kepada Tuhannya. Aku semakin tak kuasa menahan, bukan karena
aku adalah teman iblis yang mungkin saja tak tahan dengan acara taqorrub itu.
Aku hanya tak ingin menangis, dan merasakan lebih dalam akan penghayatan jiwa
di mata Tuhan.
Aku
keluar dari mesjid melanjutkan perjalanan kembali melewati satu-persatu dari
ribuan orang yang duduk menghadap ke arah kiblat yang sedang beribadah. Tak
bisa kuartikan dengan yang pemahaman lain, karena tak ada yang tepat selain
itu.
Sampai
di pertigaan alun-alun, kulihat anak muda, berpakaian ala punk jalanan. Dengan
suara merdunya ia bernyanyi sambil memainkan gitar keroncongnya. Penampilannya
buruk, tapi ada sisi lain yang menarik perhatianku. Kudengarkan lebih jelas
tentang lirik lagu yang dinyanyikannya. Dia bernyanyi:
“Bila
adzan subuh, aku kesiangan,
Bila
adzan dhuhur, aku kerepotan,
Bila
adzan asyar, aku diperjalanan,
Bila
adzan maghrib, aku kecapekan,
Bila
adzan isya’, aku ketiduran,
Tuhan,
mohon ampuni hamba-Mu...”
Mungkin
semua orang hanya berpikiran anak itu hanya bernyanyi. Dia hanya seorang
pengamen yang menggantungkan hidupnya dengan menyanyi dijalanan. Hanya itu,
mungkin. Tapi bagiku lirik lagunya adalah pengingat. Ingat akan kelupaan diri,
sekaligus ingatkan kewajiban umat islam untuk menjaga salatnya. Dalam hati,
kurasa pengamen seumuran anak SMA itu memang secara tulus mengatakan apa yang
sedang terjadi dengannya. Benar-benar munafik sekali, sehingga pantas dia harus
meminta ampun melalui lagu karangannya sendiri itu lewat bernyanyi. Semoga saja
diampuni, terbesit hatiku berdoa untuknya.
Akhirnya,
kuputuskan untuk sejenak mendengarkan nyanyian pengamen itu. Aku ingin
mendengar bait demi bait lagu religinya yang mungkin akan menjadi bahan
inspirasi dan motivasi bagiku, sambil duduk di halte bus.
“Mau
kemana mas? Saya lihat dari mesjid ya?” Tanya salah seorang penunggu bus datang.
“Iya,
Pak, Bapak juga darisana?”
“Enggak
Mas, saya pulang kerja...”
“Bapak
enggak ikut acara di Masjid?”
“Enggak
Mas, Nabi tidak pernah mengajarkan kegiatan semacam itu, itu bid’ah”
“Oh...
Begitu ya Pak, tapi apa acara itu bukan acara yang baik?”
“Ya,
tetap saja Mas, kalau Nabi nggak mengajarkan itu yang nggak boleh dilakukan...”
Kata Sang Bapak ngotot.
“Maaf
Pak, andai Nabi masih ada, dan ada disini saat ini, apa Bapak yakin, Nabi akan
marah-marah melihat umatnya melakukan acara di masjid itu?”
Sang
Bapak berpenampilan rapi dengan jenggot tebal itu terdiam. Aku takut dia merasa
tersinggung karena omonganku. Syukurlah, tak lama kemudian bus datang, ia
berpamitan lalu pergi bersama bus itu.
Bagiku,
mungkin semua orang yang di mesjid itu punya tujuan sama, untuk berdoa bersama,
mendekatkan diri kepada Tuhan di saat matahari terbenam di akhir tahun.
Bertafakkur bersama, mengkoreksi semua perbuatan yang sudah dilakukan di tahun
lalu, agar kehidupan di tahun yang akan datang bisa lebih baik lagi.
Kulangkahkan
kaki ini lebih jauh lagi. Tak jauh dari mesjid itu ternyata ada sebuah gereja umat
katolik yang kebetulan buka pada hari itu. Dari luar kudengar lantunan-lantunan
nyanyian syair tentang pujian kepada Tuhan. Serempak, teratur dan berirama.
Lantuan nyanyian orang-orang yang berada didalamnya membuatku berpikir akan
sebuah keteguhan dalam menghadap Sang Tuhan. Semakin lama, membuatku tertarik
untuk melihat kedalamnya. Kuberanikan diri dan akhirnya aku bisa melihat dari
luar pintu gerbang gereja.
Semua
yang hadir berdiri menundukkan kepala, bersama-sama menyanyikan lagu-lagu
kerohanian gereja yang mungkin sudah diajarkan sebelumnya. Pemandangan ini
membuat diriku berpikiran ketika berada di mesjid sebelumnya. Dimana semua itu
kuartikan sebagai keteguhan, kekhusyukan, kesungguhan, dan kebaktian kepada
Sang Tuhan.
Lelah,
mungkin sedikit istirahat bisa membuatku nyaman kembali. Kucari warung
angkringan terdekat yang bisa sejenak melapaskan lelahku. Kulihat sebelah
gereja ada angkringan sederhana yang nyaman untuk duduk beristirahat.
Beristirahat dengan pelayanan yang ramah dari pemilik angkringan, sambil
kembali mendengarkan nyanyian-nyanyian gereja, adalah satu hal yang sedikit
bisa melupakan penat dan lelahku.
“Dek
kog keluar, nggak ikut nyanyi?”
Tiba-tiba
salah seorang pengunjung angkringan yang bekerja sebagai satpam gereja bertanya
kepadaku. Mungkin dia menganggapku salah seorang pemeluk agama kristen. Wajar,
mungkin karena dia melihatku keluar dari gereja.
“Saya
muslim Pak...”
“Lha
tadi kog ikut-ikut masuk ke gereja Dek, mau apa?”
“Ya
Cuma sekedar ingin tahu saja Pak...”
“Oh...
Tak kira pengikut juga, lucu ya Dek, cara ibadahnya orang kristen, masa ibadah
kog nyanyi-nyanyi begitu...”
“Ya,
mungkin itu cara terbaik mereka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Pak...”
Aku
hanya tersenyum simpul menanggapi satpam gereja itu. Tak kusangka, selama ini
dia bekerja sebagai satpam di gereja, namun masih saja bersikap kurang
bersahabat dengan orang kristen. Andai salah seorang pengikut kristen tahu
tentang apa yang dikatakan oleh satpam itu, bukan tak mungkin lagi dia akan
dikeluarkan dari pekerjaannya. Mungkin dia tak sadar kalau omongannya mengandung
pelecehan bagi agama kristen. Karena, ajaran agama jelas berbeda, siapapun
tidak bisa dipaksakan untuk meyakini salah satunya, dan agama sendiri telah
mengajarkan untuk tidak merendahkan orang lain. “Ahh... Sudahlah”.
Perjalanan
yang cukup melelahkan. Terdapat banyak pelajaran yang bisa kupetik di hari ini.
Tuhan memberiku sedikit gambaran kehidupan nyata yang ada di dunia ini.
Gambaran orang-orang yang merasa menjadi seorang hamba ciptaan, yang teguh akan
keimanannya kepada Tuhan mereka sendiri. Aku bertanya pada diri sendiri:”Lalu,
kamu beriman kepada Siapa?” Entahlah, yang pasti aku ber-Tuhan jawabku.