- Back to Home »
- KETIKA SANG KIAI JADI ARTIS
Posted by : Unknown
Sabtu, 29 Maret 2014
Mendengar kabar kememangan film Sang Kiai dalam Festival
Film Indonesia 2013, adalah kabar gembira, terutama bagi warga NU termasuk
saya. Alasan kegembiraan, bagi saya bukan karena saya adalah warga NU atau yang
ditokohkan itu adalah tokoh Nu. Namun, karena saya mendapat pelajaran dari
perjuangan Hasyim Asy’ari untuk bangsa.
Seorang kiai dalam kiprahnya, akan membawa dampak yang
besar pengaruhnya bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang tunduk dan patuh pada
perintah seorang kiai. Kita bisa mengamati bersama dalam film Sang Kiai ataupun
Sang Pencerah, yang kedua sosok kiainya menjadi tokoh panutan masyarakat
seperti keyataan yang telah terjadi.
Hasyim Asy’ari merupakan tokoh sentral pemeluk agama
islam dijamannya. Berkat pengaruhnya, Indonesia bisa meraih kemerdekaan.
Meskipun pada awalnya, dia hanya menentang tentara Jepang yang telah memaksa
rakyat indonesia untuk melakukan Sekerei (menghormat kepada matahari). Dalam alur
ini secara harfiah Hasyim Asy’ari bisa dikatakan tetap bersikukuh dengan
agamanya, bukan karena dia membela negaranya, namun pada akhirnya seluruh pengikutnya
mengakui sikap nasionalisme seorang Hasyim Asy’ari untuk bangsa, setelah
sebelumnya tertangkap oleh tentara jepang.
Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah juga bisa
dikatakan sangat berpengaruh dalam lingkungannya. Walaupun sudah dicap sebagai
kiai kafir yang menyebarkan aliran sesat, dia tetap bertahan dengan apa yang
sudah menjadi ajaran dan pola pikirnya. Dia tetap bersikukuh dengan pendapat
dan bisa mempengaruhi masyarakat melalui dukungan keluarga dan lima santrinya. Hingga
akhirnya, terbentuklah organisasi keagamaan bernama Muhammadiyah yang sampai
saat ini masih eksis membina umatnya.
Jika kita cermati, kedua film itu sama-sama menampilkan
perjuangan seorang kiai dalam membina umat dari kekesesatan berideologi dan
berkeyakinan. Hasyim Asy’ari menentang Sekerei yang sudah dinilainya telah
melanggar aturan umat islam. Sedangkan Ahmad Dahlan terkesan hanya sebagai seorang
pionir yang menggagas pemikiran, bahwa islam itu mudah dan membebaskan, bukan agama
yang menyulitkan seperti yang dianut di jawa kuno saat itu. Hanya saja, dalam
menampilkan jiwa nasionalisme untuk bangsa, kisah cerita Hasyim Asy’ari dalam
film tampak lebih kentara dibanding Ahmad Dahlan yang cenderung dikatakan
sebagai pembaharu dan
pendobrak tradisi.
Hasyim Asy’ari yang sudah dikenal sebagai pendiri NU dan
dan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, keduanya adalah tokoh sentral yang layak
mendapatkan apresiasi positif dari seluruh warga indonesia, lebih-lebih dari
kalangannya sendiri. Kiprah perjuangan seorang kiai dalam kedua filmnya sangat
baik untuk ditonton karena realitasnya memang sudah diakui oleh masyarakat. Sampai-sampai
untuk kedepan Sunil Santami, produser film Sang Kiai, masih mencari tokoh
nasional yang akan diangkat kembali ke layar lebar besutannya. Namun, akan
sangat riskan ketika tokoh yang dijadikan aktor utamanya adalah tokoh
berpengaruh yang jauh dari konteks semisal nasionalisme.
Dalam menonton film, peminat televisi harus lebih cermat
dalam menghayati alur cerita dan profil-profil tokohnya. Paling tidak dia harus
bisa mengambil esensi yang bisa dijadikannya sebagai pelajaran. Karena,
kebaikan bisa datang dari siapa saja, bukan hanya dari profil seorang kiai.
Esensi dari kebaikan yang kita dapat dari menonton film adalah sesuatu yang
bisa menjadikan seseorang menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Kalau dalam menampilkan film hanya karena alasan untuk
yang bisa membangkitkan jiwa nasionalisme, saya kira tidak harus dengan
menampil seorang tokoh nasional, apalagi pejuang yang sudah terkenal sebagai tokoh
islam yang sangat berpengaruh. Paling tidak alur ceritanya bisa menggugah hati
nurani seseorang untuk semangat kebangsaan tanpa menimbulkan perpecahan dan
kesenjangan sosial baik secara individu maupun golongan.
Melihat fenomena ini, para produser dalam industri
perfilman harus lebih hati-hati dalam mengangkat tema cerita sebuah film. Baik
film Sang Kiai maupun Sang Pencerah berpotensi menimbulkan kontraversi bagi masyarakat
luas. Kenapa? Kedua tokoh itu punya umat yang berbeda pendapat mengenai
ajarannya. Hasyim Asy’ari tokoh NU yang mayoritas pengikutnya melakukan tahlil,
dziba’an, mauludan, nariyahan dan sejenisnya. Sedangkan Ahmad Dahlan adalah
tokoh Muhammadiyah yang para pengikutnya melarang untuk melakukan amaliyah yang
dilakukan oleh NU.
Dari dua film ini saja, pernah diberitakan tentang
anggapan bahwa film Sang Kyai itu meniru film Sang Pencerah, meskipun sudah
ditepis oleh sutradaranya, Rako Pujiarto. Harapan saya semoga persetruan ini
tidak menimbulkan kesenjangan sosial baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah.
Kiprah seorang tokoh besar pemberitaannya akan lebih
mudah dikenal oleh masyarakat. Dia akan menjadi pusat perhatian dengan apa yang
sudah dilakukannya. Lebih-lebih jika dia memang seorang pejuang tanah air,
tentu merupakan hal yang menarik dan cukup layak untuk diangkat menjadi sebuah
film, sesuai dengan biografi perjalanan hidupnya mulai dari lahir hingga akhir
hayatnya. Maka hal ini perlu diperhatikan, khususnya bagi para produser dunia
perfilman yang melibatkan orang yang sudah dikenal menjadi tokoh utamanya.
Sebuah film bisa dikatakan baik jika penayangannya bisa
menimbulkan hal-hal yang saya khawatirkan seperti uraian diatas, kendati telah
menjadi film terbaik di Festival Film Indonesia atau bahkan dikenal oleh
penduduk dunia sekalipun.