Posted by : Unknown Minggu, 26 Oktober 2014

Ayah, aku telah memanggilmu seperti panggilan anak-anakmu yang lain.
Ayah, sejak dulu ku katakan pada diriku bahwa engkau adalah Ayahku.
Sejak dulu aku selalu menanti saat-saatku bersamamu, dihadapanmu, lalu aku membaca ayat-ayat suci Tuhanku sebaik mungkin, karena aku tahu disaat itu engkau adalah guru di hadapanku.
Aku tahu, suatu saat nanti apa yang kudapat darimu adalah buah pahala bagi dirimu, diriku dan bagi semua orang yang kelak akan menerima sepercik cahaya yang bermuara dari pancaranmu, termasuk putera-puteriku kelak dan kemudian  seterusnya.
Ayah, aku ataupun dirimu tidak harus mengakui bahwa aku anakmu atau kau adalah ayahku. Cukup Tuhan yang tahu dan aku yakin itu.
Semua itu sudah terakui dengan sendiri dalam kitab-kitab kitab para pendahulu, bahwa kau adalah Ayahku, Ayah yang menyinarkan cahaya batinku.
Bagiku sudah cukup, meskipun sampai saat ini aku tetap bukanlah anakmu, jauh darimu dan takkan pernah merasakan kebersamaan itu lagi, karena memang sejatinya aku bukan seperti anak-anakmu yang bisa selalu disampingmu.
Bagai burung pipit terbang tinggi tanpa tahu arah singgahnya, biarlah pepohonan nan rindang, di hutan yang sepi aku akan memulai kehidupan baru, membuat sarang yang nyaman, lalu mewujudkan impian-impian yang hampir tak mungkin kudapatkan seindah di waktu aku bersamamu.
Tapi aku yakin, dirimu telah ada di hatiku, dirimu setiap waktu mengingatkan semua hal yang seharusnya kujalani di dunia ini, seruanmu, semangatmu, tuntunanmu dan do’a-do’a darimu selalu kau panjatkan untukku.
Ayah, aku selalu berusaha menggapai semua yang telah kau raih, semua yang pernah kau ajarkan untukku, semua yang telah kau tampakkan di depan mataku dan semua yang telah kau berikan kepada semua orang, meski masih sedikit yang bisa kulakukan.
Aku takkan mampu menjadi seperti dirimu, apalagi kau adalah orang yang mulia yang pantas untuk dimuliakan, orang yang selalu dipuja sebagai tokoh yang menjadi panutan bagi siapapun, orang yang jauh dari kehinaan.
Diriku yang bukanlah siapa-siapa, hanya seongok kembang yang hampir layu diatas hamparan lumpur yang kering, yang tak punya derajat tinggi dan bukanlah cerminan yang layak untuk mengkaca diri.
Ayah, dalam surat ini aku hanya bisa mengucapkan untaian rasa terimakasih, sebagai balasan yang tak setimpal yang bisa kuberikan, karena aku tak sanggup membayarmu meskipun dunia dalam genggamanku.
Ayah, andai kau baca surat ini, aku berharap semoga kau tahu, bahwa di sisa kehidupan ini, kebaktianku adalah harapan yang tak mungkin ada kecuali hanya sekedar berharap, semoga aku, kau akui sebagai anakmu yang selalu berbakti kepadamu.
Ayah, kebaikanku tak mungkin bisa kujadikan sebagai penghapusan dosaku kepadamu, maka maafkanlah aku. 
Bukalah sekali lagi kesempatan bagiku untuk mendengar dan tahu bahwa kau telah menghapusnya, lalu kau ganti dengan kelegaan hatimu yang mau tersenyum untukku, karena hanya kaulah yang menggelorakan semangatku, untuk mau menggapai tujuan hidupku.
Ayah, aku tahu Tuhan juga akan tersenyum jika melihatmu tersenyum untukku.
Terimakasih, Ayah.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Albirroers -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -