Posted by : Unknown Selasa, 21 Oktober 2014

Mendengar kabar kememangan film Sang Kiai dalam Festival Film Indonesia 2013, adalah kabar gembira, terutama bagi warga NU termasuk saya. Alasan kegembiraan, bagi saya bukan karena saya adalah warga NU atau yang ditokohkan itu adalah tokoh Nu. Namun, karena saya mendapat pelajaran dari perjuangan Hasyim Asy’ari untuk bangsa.
Seorang kiai dalam kiprahnya, akan membawa dampak yang besar pengaruhnya bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang tunduk dan patuh pada perintah seorang kiai. Kita bisa mengamati bersama dalam film Sang Kiai ataupun Sang Pencerah, yang kedua sosok kiainya menjadi tokoh panutan masyarakat seperti keyataan yang telah terjadi.
Hasyim Asy’ari merupakan tokoh sentral pemeluk agama islam dijamannya. Berkat pengaruhnya, Indonesia bisa meraih kemerdekaan. Meskipun pada awalnya, dia hanya menentang tentara Jepang yang telah memaksa rakyat indonesia untuk melakukan Sekerei (menghormat kepada matahari). Dalam alur ini secara harfiah Hasyim Asy’ari bisa dikatakan tetap bersikukuh dengan agamanya, bukan karena dia membela negaranya, namun pada akhirnya seluruh pengikutnya mengakui sikap nasionalisme seorang Hasyim Asy’ari untuk bangsa, setelah sebelumnya tertangkap oleh tentara jepang.
Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah juga bisa dikatakan sangat berpengaruh dalam lingkungannya. Walaupun sudah dicap sebagai kiai kafir yang menyebarkan aliran sesat, dia tetap bertahan dengan apa yang sudah menjadi ajaran dan pola pikirnya. Dia tetap bersikukuh dengan pendapat dan bisa mempengaruhi masyarakat melalui dukungan keluarga dan lima santrinya. Hingga akhirnya, terbentuklah organisasi keagamaan bernama Muhammadiyah yang sampai saat ini masih eksis membina umatnya.
Jika kita cermati, kedua film itu sama-sama menampilkan perjuangan seorang kiai dalam membina umat dari kekesesatan berideologi dan berkeyakinan. Hasyim Asy’ari menentang Sekerei yang sudah dinilainya telah melanggar aturan umat islam. Sedangkan Ahmad Dahlan terkesan hanya sebagai seorang pionir yang menggagas pemikiran, bahwa islam itu mudah dan membebaskan, bukan agama yang menyulitkan seperti yang dianut di jawa kuno saat itu. Hanya saja, dalam menampilkan jiwa nasionalisme untuk bangsa, kisah cerita Hasyim Asy’ari dalam film tampak lebih kentara dibanding Ahmad Dahlan yang cenderung dikatakan sebagai pembaharu dan pendobrak tradisi.
Hasyim Asy’ari yang sudah dikenal sebagai pendiri NU dan dan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, keduanya adalah tokoh sentral yang layak mendapatkan apresiasi positif dari seluruh warga indonesia, lebih-lebih dari kalangannya sendiri. Kiprah perjuangan seorang kiai dalam kedua filmnya sangat baik untuk ditonton karena realitasnya memang sudah diakui oleh masyarakat. Sampai-sampai untuk kedepan Sunil Santami, produser film Sang Kiai, masih mencari tokoh nasional yang akan diangkat kembali ke layar lebar besutannya. Namun, akan sangat riskan ketika tokoh yang dijadikan aktor utamanya adalah tokoh berpengaruh yang jauh dari konteks semisal nasionalisme.
Dalam menonton film, peminat televisi harus lebih cermat dalam menghayati alur cerita dan profil-profil tokohnya. Paling tidak dia harus bisa mengambil esensi yang bisa dijadikannya sebagai pelajaran. Karena, kebaikan bisa datang dari siapa saja, bukan hanya dari profil seorang kiai. Esensi dari kebaikan yang kita dapat dari menonton film adalah sesuatu yang bisa menjadikan seseorang menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Kalau dalam menampilkan film hanya karena alasan untuk yang bisa membangkitkan jiwa nasionalisme, saya kira tidak harus dengan menampil seorang tokoh nasional, apalagi pejuang yang sudah terkenal sebagai tokoh islam yang sangat berpengaruh. Paling tidak alur ceritanya bisa menggugah hati nurani seseorang untuk semangat kebangsaan tanpa menimbulkan perpecahan dan kesenjangan sosial baik secara individu maupun golongan.   
Melihat fenomena ini, para produser dalam industri perfilman harus lebih hati-hati dalam mengangkat tema cerita sebuah film. Baik film Sang Kiai maupun Sang Pencerah berpotensi menimbulkan kontraversi bagi masyarakat luas. Kenapa? Kedua tokoh itu punya umat yang berbeda pendapat mengenai ajarannya. Hasyim Asy’ari tokoh NU yang mayoritas pengikutnya melakukan tahlil, dziba’an, mauludan, nariyahan dan sejenisnya. Sedangkan Ahmad Dahlan adalah tokoh Muhammadiyah yang para pengikutnya melarang untuk melakukan amaliyah yang dilakukan oleh NU.
Dari dua film ini saja, pernah diberitakan tentang anggapan bahwa film Sang Kyai itu meniru film Sang Pencerah, meskipun sudah ditepis oleh sutradaranya, Rako Pujiarto. Harapan saya semoga persetruan ini tidak menimbulkan kesenjangan sosial baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah.
Kiprah seorang tokoh besar pemberitaannya akan lebih mudah dikenal oleh masyarakat. Dia akan menjadi pusat perhatian dengan apa yang sudah dilakukannya. Lebih-lebih jika dia memang seorang pejuang tanah air, tentu merupakan hal yang menarik dan cukup layak untuk diangkat menjadi sebuah film, sesuai dengan biografi perjalanan hidupnya mulai dari lahir hingga akhir hayatnya. Maka hal ini perlu diperhatikan, khususnya bagi para produser dunia perfilman yang melibatkan orang yang sudah dikenal menjadi tokoh utamanya.
Sebuah film bisa dikatakan baik jika penayangannya tidak menimbulkan hal-hal yang saya khawatirkan seperti uraian diatas, kendati telah menjadi film terbaik di Festival Film Indonesia atau bahkan dikenal oleh penduduk dunia sekalipun.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Albirroers -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -